sedulur-sedulur:    

 

 

 

Menyelamatkan Hutan Mangrove Cilacap


Hutan bakau atau mangrove di perairan Segara Anakan, Kecamatan
Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, sangat dikenal di
kalangan ilmuwan, khususnya biolog dan mahasiswa fakultas biologi
dari berbagai perguruan tinggi di dalam dan luar negeri, karena yang
terluas di dunia. Hutan ini menjadi laboratorium alam, tempat penelitian perkembangan binatang laut yang hidup di hutan yang tumbuh di atas permukaan air laut. Seperti berbagai jenis ikan, udang, kepiting, serta sidat (sejenis belut yang besar).
Namun, hutan yang merupakan laboratorium alam itu kini terancam
rusak. Kalau pada masa lalu luas hutan itu mencapai puluhan ribu
hektare, kini tinggal 12.343 hektare. Hutan yang ditumbuhi tanaman
kayu bakau (Rhizo-pora, SP) dan kayu tancang (Bruguiera. SP) kini
semakin rusak akibat penebangan liar.
Kerusakan hutan itu mulai terjadi pada masa penjajahan Jepang (tahun 1942), ketika tentara Jepang membutuhkan arang untuk bahan bakar kereta api sebagai sarana transportasi. Kerusakan itu terus berlangsung sampai awal orde baru.
Pada tahun 1978 atau 22 tahun lalu, kerusakan itu berhasil diatasi
melalui reboisasi yang dilakukan oleh Administratur KPH Perhutani
Banyumas Barat, waktu itu Ir Bambang Soekartiko. Berkat reboisasi
itu hutan yang rusak bisa menghijau kembali dan ekosistem kehidupan binatang laut yang berkembang biak di akar-akaran tanaman mangrove bisa terjaga.
Namun, belakangan ini hutan itu rusak lagi. Kerusakan ini mendapat
perhatian dari para pakar biologi dan kelautan di luar negeri.
Rektor Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Drs
Rubiyanto Misman, yang juga biolog, memiliki kepedulian yang cukup
besar terhadap keselamatan hutan mangrove ini. Hal ini dibuktikan
dengan dijalinnya kerja sama antara Unsoed dengan Zentrum Fur Marine Trapenokologie (ZMT) University of Bremen, Jerman.
Nota Kesepahaman sudah ditandatangani oleh Rektor Unsoed Prof
Rubiyanto Misman dengan Direktur ZMT Prof Dr V Inekkot, awal
Desember lalu. Kedua pimpinan lembaga ilmiah itu sepakat akan
melakukan penelitian sebagai upaya untuk menyelamatkan hutan
mangrove yang kini terancam rusak beserta flora dan faunanya.
Pelindung Pantai Hutan mangrove di permukaan air Segara Anakan merupakan pelindung pantai dari gempuran ombak. Selain itu hutan mangrove berfungsi sebagai tempat perkembangbiakan ikan dan binatang laut lainnya. Binatang laut yang hidup di sela-sela akar hutan bakau ini antara lain berbagai jenis kerang, ikan, udang, sidat, kepiting, dan ranjungan. Sedang di hutan mangrove sendiri terdapat berbagai jenis kera, burung kuntul, dan burung laut lainnya.
''Sayang, sebagian besar flora dan fauna di kawasan Segara Anakan
nyaris punah. Kami bertekad akan berusaha melestarikan hutan
mangrove di perairan tersebut, mengingat hutan sejenis itu, kini
semakin langka di dunia,'' ujar Prof Rubiyanto seusai penandatanganan Nota Kesepahaman.
Pelumpuran atau sedimentasi yang terjadi di Segara Anakan setiap
tahunnya cukup besar. Lumpur yang terbawa dari Sungai Citanduy
setiap tahunnya mencapai 1 juta ton lebih. Akibatnya Segara Anakan
menjadi dangkal, dan kehidupan hutan mangrove dan biotanya
terganggu.

Sumber: Caraka Online

 
 
 
 
 
         
   
   
   
copyright © 2000 - 2003, webmaster@cilacap-online.net